Bola Anak dan Kubur di Gaza

Lapangan yang Tak Ada

Saya ingat pertama kali melihat bocah berusia empat tahun di Gaza menendang bola kempes—tanpa jaring, tanpa ring, hanya beton retak dan debu. Senyumnya bukan pertunjukan; itu bertahan hidup. Saya menyaksikannya melewati puing-puing, matanya lebih dalam daripada statistik atau taktik. Ini bukan jurnalisme olahraga—ini saksi.

Ring Sunyi

Di Cal Berkeley, kami mengajar analisis seolah data bisa menyembuhkan trauma. Tapi di Gaza? Data tak menyelamatkan nyawa. Angka tak berbohong—tapi tak berseru juga. Saya menganalisis peta tembakan dari kamp pengungsi tempat anak-anak menembak udara karena tak ada lagi yang dituju selain napas satu sama lain.

Darah di Aspal

Saya tumbuh di Southern California dengan kidung lullaby dan lonceng gereja yang berdentang di belakangku—tapi ketika putraku bertanya mengapa kita masih melakukan ini? Saya tak punya jawaban sampai saya berdiri di samping tubuhnya saat malam.

Burung yang Terbang Dengan Air

Seekor burung dengan paruh patah terbang melewati puing kemarin—membawa titik air seperti harapan di mulut kecilnya. Bukan metafora. Nyata. Saya dulu kira ini cerita orang lain—sakit mereka bukan milikku. Sampai sekarang. Ular bertanya: ‘Mengapa kamu terus melakukannya?’ Burung bisik balik: ‘Karena kesunyian adalah kekerasan.’ Saya tahu. Dan kamu juga.